PANGKAJENE KEPULAUAN

Bergerak - Berbenah Menuju Kemandirian Yang Lebih Baik

Editors Picks

Kamis, 18 Agustus 2016

Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak dari Perusahaan BUMN di Pangkep

Pangkep Go - Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada kondisi tidak normal nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan.  Seperti yang dikeluhkan oleh seorang warga Pangkep yang sanak keluarganya mengalami kasus dengan salah satu perusahaan BUMN, perusahaan dimana karyawan tersebut telah bekerja, lalu tiba-tiba diberikan SP3 tanpa terlebih dahulu diberikan peringatan, SP1, dan SP2, dan alasan-alasan yang di pergunakan dalam SP3 tersebut agak kurang masuk akal dan tidak ada bukti konkrit. 

Padahal menurut Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2008 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.

Pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja secara sembarangan tanpa alasan yang dibenarkan undang-undang. 
Dalam hal PHK, menurut Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pengusaha tidak boleh mem-PHK pekerja karena alasan antara lain:

a.    pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b.    pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.    pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d.    pekerja/buruh menikah;
e.    pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f.     pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
g.    pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h.    pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i.      karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j.     pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Jika pengusaha mem-PHK pekerja karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan undang-undang, maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan (Pasal 153 ayat [2] UU Ketenagakerjaan).

Berdasarkan Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, baik pihak pengusaha maupun pekerja malah diharuskan dengan segala upaya agar jangan sampai terjadi PHK. Jika segala upaya telah dilakukan tetapi PHK tetap tidak terhindarkan maka maksud PHK harus dirundingkan antara pengusaha dan pekerja (Pasal 151 ayat [2] UU Ketenagakerjaan). Apabila perundingan tidak menghasilkan persetujuan juga, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 ayat [3] UU Ketenagakerjaan).

Selain itu, dalam dalam Pasal 161 ayat (1) UU Ketenagakerjaan diatur juga syarat untuk melakukan PHK yaitu, “bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.” Penjelasan selengkapnya mengenai hal ini silakan simak artikel Sanksi Berurutan.

Jadi, jelas bahwa pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja hanya dengan mengatakan “anda saya pecat!”. PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yaitu pengadilan hubungan industrial (“PHI”) yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”). Sebelum mem-PHK pekerja, pengusaha juga sebelumnya telah memberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga kepada pekerja yang bersangkutan. Dengan demikian, jika pengusaha mengatakan “Anda saya pecat!” kepada pekerja, tidak serta merta saat itu juga secara hukum terjadi PHK.

2.    Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, tidak ada ketentuan yang melarang pengusaha untuk berkata “Anda saya pecat!” atau yang senada dengan itu. Karena itu, tidak ada sanksi pidana maupun sanksi administratif yang dapat dikenakan terhadap pengusaha yang melakukan hal tersebut.

Apabila PHK yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan telah terjadi, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (Pasal 156 ayat [1] UU Ketenagakerjaan).
3.    Jika pengusaha melakukan PHK secara sewenang-wenang, maka langkah yang dapat ditempuh adalah melaporkan tindakan pengusaha kepada instansi ketenagakerjaan di tingkat kabupaten/kota karena merupakan pengawas ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 178 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

Apabila tidak menemukan penyelesaian yang baik, barulah kemudian Anda dapat menempuh langkah dengan memperkarakan PHK yang sewenang-wenang ke PHI sebagaimana diatur dalam ketentuan UU 2/2004.


Share:

Cari

Definition List

Contact

Pages